Rabu, 29 Juni 2011

HOW TO BE A GOOD STUDENT

How to Be a Good Student

1. A. Use your reliable transportation to come to class on time. Students who walk in late are not only disrupting the teacher, they may be missing valuable information or the best seat in the classroom. Arriving a few minutes early is a lot different than arriving a few minutes late.

2. B. Sit in the front row. Not only will you be able to see and hear the teacher better, you will also be far away from mooching students who tend to sit in the back.

3. C. Be sure that you get a syllabus and then study it carefully. If your teacher goes through it during class, be sure to write down any additional information he or she may provide. Put your syllabus in a safe place and DO NOT LOSE IT. Refer to it throughout the semester whenever you have a question about due dates or class policies. This will save your teacher a lot of time and trouble.

4. D. Write down all pertinent class information such as: meeting day and time, room number, professor's name, and class section number and code (such as PHI 10, 28779) This will prevent you from getting lost on campus the first few days and will come in great handy if you need to add/drop the class.

E. Learn your professor/ teacher's name and what he or she likes to be called. "Mr." "Ms." "Instructor" or "Dr." may be appropriate. Unless your teacher requests otherwise, use his or her last name to convey the proper respect. Baca selengkapanya klik disini

Senin, 27 Juni 2011

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL BELAJAR


TEKNIK PENGOLAHAN HASIL BELAJAR

Mengolah data berarti ingin memberikan nilai dan makan terhadap data yang sudah dikelompokkan.

A. Teknik Pengolahan Hasil Tes

1. Menskor

Menskor adalah pekerjaan memberikan angka yang diperoleh dengan cara menjumlahkan angka-angka yang diperoleh dengan cara menjumlahkan angka-angka bagi setiap butir-butir item yang dijawab benar oleh testee.

a. Cara Memberi Skor Mentah untuk Tes Uraian

Dalam bentuk uraian biasanya skor mentah dicari dengan menggunakan sistem bobot. Sistem bobot ada dua cara, yaitu:

Pertama, bobot dinyatakan dalam skor maksimum sesuai dengan tingkat kesukarannya. Misalnya, untuk soal yang mudah skor maksimumnya adalah 6, untuk soal sedang skor maksimumnya adalah tujuj, dan untuk soal sukar skor maksimumnya adalah 10. Cara ini tidak memungkinkan peserta didk mendapat skor maksimum sepuluh.

Contoh pertama:

Seorang peserta didik deberi tiga soal dalam bentuk uraian. Setiap soal diberi skor (X) maksimum dalam rentang 1-10 sesuai dengan kualitas jawaban peserta didik.

selengkapnya klik di"judul"


Pendidikan Islam di Indonesia

MASA MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

A. Seputar Masuknya Islam Di indonesia

Sejarah telah mencatat semua agama baik agama samawi atau agama ardhi disiarkan dan dikembangkan oleh para pembawanyayang disebut utusan Tuhan atau para pengikutnya. Mereka memiliki keyakinan untuk menyampaikan kebenaran dari Tuhan kepada umat manusia untuk menjadi pedoman hidup.

Diantara agama-agama besar di dunia adalah Yahudi, Naasrani, Islam Hindu, Budha, tetapi yang paling banyak dan adalah agama Nasrani, dan Islam. Hal tersebut berhubungan dengan penyiaran agama oeh pemeluknya.

Usaha penyiaran agama tentu banyak rintangan dan tantanga, hambatan, gangguan bahkan ancaman yang berat. Itulah akibatnya ada penyiaran agama yang lancar dan tidak lancer ddan mengalami kemacetan walau tidak secara total.menurut L. storddard dalam bukunya yang berjudul “Dunia Baru Islam”(The New World of Islam) pengembangan dan penyiaran agmaIslam termasuk paling dinamis dan cepat disbanding agama lain. Selama lebih kurang 23 tahun islam sudah berkuasa di Jazirah Arab termasuk telah tersebar ke pelosok dunia. Factor yang menyebabkan islam cepat berkembang dalam penyiaran agama islam adalah:

a. Faktor ajaran islam itu sendiri. Baik bidang akidah,dan akhlaknya mudah dimengerti, sehingga masyarakat mudah untuk menerimanya, dan alas an lainnya islam tidak memberikan perbedaan di antara kita, karena kita semua saudara. selengkapnya klik disini http://www.ziddu.com/download/15554905/B.docx.html


TELAAH KONSTRUKSI TEORI PENELITIAN AGAMA

A. PENGERTIAN KONSTRUKSI TEORI PENELITIAN AGAMA

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J. Poerwadarminta mengartikan konstruksi adalah cara membuat(menyusun ) bangunan- bangunan (jembatan) dan dapat pula berarti susunan hubungan kata di kalimat atau kelompok kata. Sedangkan teori berupa pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa atau kejadian dan berarti pula asas-asa dan hukum- hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Selain itu teori dapat berarti endapat cara-cara dan aturan- aturan untuk melakukan sesuatu.

Dalam ilmu penelitian teori-teori itu pada hakikatnya merupakan pernyataan sebab akibat atau mengenai adanya hubungan positif antara gejala yang diteliti dari beberapa faktor tertentu dari masyarakat.

Dari pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan konstruksi teori adalah susunan atau bangunan dari suatu pendapat, asas- asas atau hukum- hukum mengenai sesuatu yang antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan, sehingga membenbentuk suatu bangunan.

Penelitian berasal dari kata teliti yang artinya cermat, seksama, pemeriksaan yang dilakukan secara seksama dan teliti dan dapat pula berarti penyelidikan. Penelitian yang dilahirkan oleh dunia ilmu pengetahuan mengandung implikasi-implikasi yang bersifat ilmiah, oleh karena hal tersebut merupakan proses penyelidikan yang berjalan sesuai dengan ketetapan- ketetapan dalam ilmu pengetahuan tentang penelitian atau methodology of research. Tujuan pokok dari kegiatan peneletian adalah mencari kebenaran-kebenaran objektif yang disimpulkan melalui data-data yang terkumpul. Kebenaran-kebenaran objektif yang diperoleh tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar atau landasan untuk pembaharuan, perkembangan atau perbaikan- perbaikan dalam masalah-masalah teoritis dan praktis bidang-bidang pengetahuan yang bersangkutan.

Dengan demikian, penelitian mengandung arti upaya menemukan jawaban atas sejumkah masalah berdasarkan data-data yang terkumpul. Penelitian dapat dirumuskan sebagai penerapan pendekatan ilmiah pada pengkajian suatu masalah. Ini adalah cara untuk memperoleh informasi yang berguna dan dapat dipertanggungjawabkan. selengkapnya baca disini

http://www.ziddu.com/download/15542004/A.docx.html

IlMu KaLaM

FUNGSI WAHYU

Pengertian Wahyu

Pengertian Wahyu Secara Etimologis

Menurut bahasa (lughah), kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy yang memiliki beberapa arti, di antaranya; suara, tulisan isyarat, bisikan, paham dan juga api. Ttp ada juga yang mengartikan bisikan yang tersembunyi dan cepat. Dengan demikian, pengertian wahyu secara etimologis adalah :

penyampaian sabda tuhan kepada manusia piihan-nya tanpa diketahui orang lain , agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai pegangan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak


Rabu, 22 Juni 2011

peran pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pendidikan yang dimaksud dalam Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat bangsa dan negara.”

Pendidikan sebagai proses perubahan perilaku menurut Nursyid Sumatmadja (2002) secara alamiah berjalan spontan, namun apabila kita menghendaki pendidikan yang terarah haruslah mealui perencanaan, perancangan, pemprograman yang dirumuskan terlebih dahulu, oleh karena itu kegiatan pendidikan itu telah dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan itu memiliki peranan yang sangat penting terhadap manusia, pembangunan, dan juga terhadap pembentukan mentalitas bangsa itu sendiri.

Dewasa ini kita perhatikan pendidikan hanya dijadikan sebagai sarana untuk mencari pangkat, kedudukan yang baik, tanpa memperhatikan, dan memikirkan peranan pendidikan yang dilakukan tersebut. Padahal manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Maka manusia membutuhkan ilmu atau pendidikan yang akan membentuk kpribadian, dan mentalitas bangsa itu sendiri. Dalam artian pendidikan memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk mentalitas bangsa. Apalagi peran pendidikan agama yang memiliki peran yang sangat signifikan alasannya menurut Athur Lewis mengatakan budaya yang mendorong kemajuan dan kemunduran yaitu agama, apabila dalam agama mengajarkan jujur, bertanggungjawab itu akan mendorong kemajuan. Tapi apabila dalam agama menghalalkan perbudakan, kasta- kasta, rasialis dan inilah yang akan mendorong kemunduran.

Oleh karena itu pendidikan agama menjadi peran yang sangat penting dalam membentuk mentalitas bangsa dengan alasan yang telah dijelaskan Athur Lewis tersebut.

Dan juga dengan kenyataan yang kita lihat dan perhatikan disekolah-sekolah umum maupun yang agama memiliki waktu yang sangat singkat untuk pendidikan agama. Padahal pendidikan agama ikut memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk mentalitas bangsa. Karena melihat kenyataan tersebut penulis mencoba menjelaskan peran dari pendidikan agama agar kita tidak menyia-nyiakan pendidikan agama sehingga kita pendidikan agama tersebut bisa kita jadikan peran yang sangat penting dalam membentuk mentalitas bangsa.

2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian pendidikan?

2. Apa peranan pendidikan agama tersebut?

3. Bagaimana kita bisa menjadikan pendidikan itu berperan dalam membentuk mentalitas bangsa?

3. Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas terstruktur dari dosen pembimbing. Dan disamping itu penulis berusaha untuk menuliskan tentang peranan pendidikan agar kita lebih mengetahui peranan pendidikan dalam membentuk mentalitas pembangunan bangsa.

BAB II

PEMBAHASAN

Peranan Pendidikan Dalam Membentuk Mentalitas Pembangunan Bangsa

Pengertian Pendidikan

Dalam kajian dan pemikiran tentang pendidikan terlebih dahulu perlu diketahui dua istilah yang hampir sama bentuknya dan sering dipergunakan dalam dunia pendidikan yaitu pedagogi dan pedagoik. Pedagogi berarti pendidikan sedangkan pedagoie artinya ilmu pendidikan.

Pedagoik atau ilmu pendidikan ialah yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik.[1] Istilah ini bersal dari kata pedagogia (yunani) yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Sedangkan yang sering digunakan istilah pedagogos adalah seorang pelayan bujang pada zaman yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjeput anak-anak ke dan dari sekolah.

Dalam bahasa arab istilah pendidikan dikenal dengan kata tarbiyah dengan kata kerjanya rabba-yurabbi-tarbiyatan yang berarti mengasuh, mendidik, dan memelihara.[2]

Dalam undang- undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bab 1 tentang ketentuan umum pasal 1 ayat 1:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar peserta untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. “

Adapun pendidikan secara terminologi banyak pakar yang memberikan pengertian yang berbeda, antara lain Prof. Langeveld menyatakan “pendidikan adalah suatu bimbingan yang di berikan orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan .”[3]

Sementara itu john deway mengatakan pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan- kecakapan fundamentalsecara intelektual dan emosional kearah alam dan manusia.

Dalam konteks yang sama Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah menuntut segala kekutan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[4]

Prof. H. Arifin yang mengemukakan bahwa pendidikan adalah usaha oarng dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam pendidikan formal maupun informal.[5]

Untuk menciptakan keseragaman pendidikan dan memberikan pedoman penyalengaraan pendidikan agama diseluruh Indonesia dibentuk panitia bersama untuk menyeragamkan pendidikan tersebut.

Secara filosofis dalam kehidupan negara dan kemasyarakatan, peningkatan keimanan, dan ketakwaanterhadap Tuhan yang mahaesa dan akhlak mulia merupakan merupakan penjabaran sila pertama pancasila, yaitu ketuhanan yng mahaesa. Hal itu selars dengan semangat serta susana kebatinan mukaddimah UUD 1945 yang secara tersirat mengandung makna bahwa berdirinya republik indonesia dilandasi oleh semangatatas brkat rahmat Allah yang maha kuasa yang mengiringi keinginan luhur bangsa untuk mencapai kemerdekaannya.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa , bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusiayang beriman dan bertakwakepada Tuhan yang mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap , kreatif, mandiridan mnjadi warga negara yang demokratif, serta bertanggung jawab.

Upaya pendidikan dalam rangka pembentukan mentalitas bangsa indonesia dengan memberikan makna perlunya mengembangkan seluruh dimensi aspek kepribadian tiap-tiap andividu. Pendidikan agama harus tampil sebagai proses pembinaan kepribadian manusia Indonesia dalam membentuk mentalitas bangsa.

Indonesia memiliki modal atau kekuatan yang memadai untuk menjadi bangsa besar dan negara yang kuat. Modal itu antara lain: luas wilayah, jumlah penduduk, kekayaan alam, kekayaan budaya, kesatuan bahasa, ketaatan pada ajaran agama, dan sistem pemerintahan republik yang demokratis. Akan tetapi modal yang besar itu seakan tidak banyak berarti apabila mentalitas bangsa ini belum terbangun atau belum berubah ke arah yang lebih baik. Mentalitas bangsa Indonesia yang kurang kondusif atau menjadi penghambat kejayaan bangsa Indonesia menjadi bangsa maju antara lain: malas, tidak disiplin, suka melanggar aturan, ngaji pumpung, suka menerabas, dan nepotisme.

Selama mental sebuah bangsa tersebut tidak berubah, maka bangsa tersebut juga tidak akan mengalami perubahan dan akan tertinggal dengan bangsa-bangsa lain, meskipun bangsa tersebut sesungguhnya memiliki potensi dan modal yang besar. Allah dalam hal ini secara tegas mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. 13:11).

Media yang paling ampuh untuk merubah mentalitas bangsa adalah lewat pendidikan dan keyakinan agama. Pendidikan yang mampu merubah mentalitas adalah pendidikan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, bukan hanya sekedar formalitas atau kepura-puraan. Keyakinan agama juga besar pengaruhnya bagi mentalitas bangsa. Karena itu melalui pendidikan agama yang mampu menanamkan keimanan yang benar, ibadah yang benar dan akhlakul karimah, niscaya akan menjadikan anak didik sebagai manusia terbaik, yaitu yang bermanfaat bagi orang alain melalui amal shalehnya.

Pengertian mentalitas

Mentalitas adalah keadaan dan aktivitas jiwa (bathin) cara berfikir dan perasan, faktor mentalitas merupakan faktor penentu dalam pembangunan.[6]

Deskrates mengatakan “cogito ergo sum( karena saya berfikir makanya saya ada).

Sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998 sampai pemerintahan sekarang kondisi bangsa Indonesia belum menunjukan perbaikan yang berarti. Beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional belum ada terobosan yang sangat fundamental terhadap penyelesaian krisis dan arah pembangunan bangsa kedepan, pemerintah masih memprioritaskan pembangunan jangka pendek dan menengah dan itu-pun masih dalam bentuk fisik dan publis yang kental dengan kepentingan politik.

Krisis yang dialami bangsa Indonesia tidak hanya krisis ekonomi maupun politik, tapi lebih dari itu bangsa kita tengah menghadapi krisis karakter/ jati diri. Berbagai peristiwa atau kejadian yang sering berlangsung dalam kehidupan sehari-hari yang kita saksikan melalui TV maupun media cetak menunjukan betapa masyarakat kita tengah mengalami degradasi jati diri. Seiring perjalanan waktu moral bangsa terasa semakin amburadul, huru-hara dan kesewenangan terjadi dimanan-mana, tata krama pun hilang, nyawa seperti tak ada harga, korupsi menjadi-jadi bahkan telah dilakukan terang-terangan dan berjamaah (meminjam istilah Taufik Ismail). Berbagai bentuk kerusuhan yang diikuti penjarahan, pembunuhan dan pemerkosaan terjadi di berbagai daerah. Selain dari itu kutuhan dan ketahanan bangsa-pun terancam disintegrasi dengan terjadinya beberapa konflik di berbagai daerah seperti di Aceh, Maluku dan Papua.

Masyarakat Indonesia seperti kehilangan prinsip dan nation dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konsep Bhenika Tunggal Ika sudah mulai luntur dari jiwa-jiwa generasi sekarang. Akan tetapi semua proses yang terjadi saat ini boleh jadi memberikan pendidikan yang berarti bagi masyarakat Indonesia dalam mencari jati diri. Menurut Sarjono Djatiman, bangsa Indonesia baru dalam proses menjadi Indonesia. Pada masa lalu, para pendiri bangsa ini melakukan proses menjadi Indonesia dimulai dari para elite dengan proses sukarela. Masing-masing menyatakan dirinya lalu mencari unsur-unsur yang bisa dipakai sebagai pangkal tolak nation Indonesia. Nation Indonesia dibangun atas dasar prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan. Inilah yang menjadi harapan pendiri bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki jati diri.

Jika Pendiri bangsa ini (the founding fathers) masih sempat menyaksikan kondisi bangsa saat ini tentu mereka akan sangat sedih dan menyesal. Bangsa Indonesia yang merdeka dengan mengorbankan segenap harta, jiwa dan raga harus menjadi bangsa yang tidak memiliki karakter (izzah), dan kehilangan prinsip kebangsaan. Rentetannya peristiwa kerusuhan yang diikuti berbagai gejolak yang terjadi (khususnya di Aceh, Papua, Sulawesi Selatan) akhir-akhir ini, merupakan fenomena yang dikhawatirkan akan mengarah pada disintegrasi bangsa. Terjadinya fenomena ini disebabkan karena maKrisis karakter yang dialami bangsa saat ini disebabkan kerusakan individu-individu masyarakat yang terjadi secara kolektif sehingga terbentuk budaya/ kebiasaan. Budaya inilah yang telah menginternal dalam sanubari masyarakat Indonesia dan menjadi karakter bangsa. Karakter bangsa Indonesia ditentukan oleh ciri manusia Indonesia itu sendiri, Sejarah telah mencatat bahwa bangsa Indonesia dijajah lebih dari 3 abad, dampak dari penjajahan tersebut boleh jadi telah membentuk karakter tersendiri bagi masyarakat Indonesia, yaitu karakter masyarakat terjajah. Karakter yang merupakan warisan penjajah dan dijadikan budaya bagi masyarakat Indonesia sebagaimana Mochtar Lubis mengumukakan ciri manusia Indonesia yang antara lain: 1) munafik, 2) segan dan enggan bertanggung jawab, 3) berjiwa feodal, 4) percaya tahayul, 5) artistik, 6) berwatak lemah (cengeng), 7) tidak hemat, kurang gigih, serta 9) tidak terbiasa bekerja keras. Pernyataan itu tidaklah sepenuhnya dapat kita benarkan karena sejarah juga mencatat pengorbanan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaannnya, itu menunjukan tingkat nasionalisme yang tinggi yang dimiliki masyarakat Indonesia waktu itu. Namun jujur kita mengakui bahwa ciri yang di kemukakan diatas merupakan kecendrungan umum dari masyarakat Indonesia saat ini.syarakat Indonesia sedang mengalami Crisis Nation Character.[7]

Terlepas dari itu semua apakah mentalitas bangsa merupakan warisan penjajah feodal atau justru merupakan kegagalan pendidikan Indonesia dalam membentk karakternya. Pendidikan seharusnya menjadi media ”perbaikan” sekaligus ”pembentukan” karakter masyarakat Indonesia sesungguhnya. Lalu, apa yang telah dilakukan pendidikan selama ini?

Kegagalan Pendidikan Dalam Membangun Karakter Bangsa

Salah satu budaya yang mendorong kemajuan adalah pendidikan yang berkualitas atau pendidikan yang tidak berkualitas merupakan faktor pendorong kemajuan yang akan mencapai kepada pembentukan mentalitas pembangunan bangsa, tapi permasalahan banyak terjadi yang menyebabkan pembangunan tersebut tidak kearah yang dapat membangun mentalitas bangsa contohnya saja orang banyak melakukan pendidikan hanya untuk untuk mendapatkan kedudukan yang lebih baik tanpa memikirkan peranan dari pendidikan tersebut, dan contohnya saja adanya budaya malas dalam diri masyarakat bangsa padahal itu akan menyebabkan buruknya mentalitas bangsa, tapi teori dari Abraham Maslow ”orang malas semakin orang diberi motivasi maka akan bagus kualitas kerja dan produksi kognitifnya.”

Permasalahan pendidikan bangsa ini tidak pernah selesai, ada gejala yang tidak beres dalam dunia pendidikan seperti; siswa yang tawuran, siswa yang menjadi korban narkoba, siswa yang tidak bersemangat belajar, siswa yang memperkosa temannya sendiri dan masih banyak lagi permasalahan pendidikan yang sedang berlangsung belum lagi persoalan yang terjadi pada lulusan pendidikan yang terjebak pada pengangguran atau para pelaku korupsi intelek yang menjadi-jadi. Fenomena kriminalitas yang terjadi dalam realitas kehidupan semuanya hampir bersentuhan dengan pendidikan baik itu yang pra, saat atau pasca pendidikan. Lalu, apa yang telah dilakukan dunia pendidkan selama ini?

Dr Avip Saefullah drg M.Pd menyatakan Lembaga pendidikan di Indonesia ternyata gagal berperan sebagai pranata sosial yang mampu membangun karakter bangsa Indonesia sesuai dengan nilai-nilai normatif kebangsaan yang dicita-citakan. Yang terbangun saat ini justru perilaku elite negeri yang bertolak belakang dengan nilai sosial dan kehendak masyarakat. Celakanya, model perilaku paradoksal inilah yang berkembang menjadi spirit nasional dan terkesan menjadi karakter bangsa. Lembaga pendidikan di Indonesia tidak mampu menegakkan nilai-nilai demokratis dan menyiapkan masyarakat yang kritis dengan basis pengetahuan dan kompetensi. Akumulasi dari perilaku itu kemudian juga membuat kemunduran bangsa, baik dari segi pembangunan ekonomi maupun pengembangan kualitas sumber daya manusianya [8]

Lebih dari tiga dasawarsa pendidikan berjalan apa adanya dengan out-put yang seadanya bahkan terkesan pendidkan kita telah mencetak manusia intelektual, alim tapi kurang bermoral, pernyataan tersebut tidak dapat kita benarkan atau kita salahkan namun kenyataannya sesungguhnya bangsa kita saat ini sedang mengalami krisis moral baik di tingkat penguasa maupun rakyat jelata. Sementara itu sangat mencolok di hadapan kita bahwa pendidikan agama, budi pekerti, dan Pancasila yang dilakukan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, bahkan pendidikan Pancasila yang juga telah ditatarkan pada pejabat tinggi negara, pegawai negeri pada segala tingkatan hingga organisasi kemasyarakatan, ternyata gagal membawa masyarakat kita ke arah yang lebih baik dalam hal membentuk karakter bangsa. Sulitnya memberantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), sulitnya mencari pimpinan sebagai panutan, dibiarkannya berbagai pelanggaran hak asasi manusia, tiadanya korelasi yang positif antara maraknya masyarakat yang pergi ke tempat ibadah dengan menurunnya tingkat KKN, rendahnya sensitivitas sosial dan lingkungan seperti eksploitasi sumber daya alam yang cenderung mengabaikan dampak sosial dan lingkungan, merupakan beberapa contoh yang ada di depan mata kita. Lalu apa yang sebenarnya telah diajarkan oleh pelajaran budi pekerti, pancasila maupun agama? Adakah kesalahan pada materi pelajarannya atau metode dan strateginya yang keliru!

Bila dikaitkan dengan pembangunan karakter bangsa, pendidikan bisa diartikan secara lebih sempit sebagai suatu cara membangun dalam berkehidupan bersama. Dalam skala tataran antar komunitas, tanpa melihat etnis, suku, agama, ras dan sebagainya, berkehidupan bersama berarti telah sepakat secara sadar untuk melakukan ikatan bagi anggotanya menjadi suatu komunitas yang dilakukan dalam wilayah yang pasti dan sah, serta diakui komunitas masyarakat lainnya (baca: internasional). Dari sudut pandang inilah kemudian timbul berbagai teori tentang bangsa dan negara. Karakter bangsa muncul dari komunitas-komunitas yang memiliki ikatan dan aturan yang jelas. Dalam hal ini pendidikan berperan penting membangun persamaan persefsi antar komunitas sehingga terjalin komunitas yang memiliki karakter yang jelas dan kuat. Jika pendidikan gagal dalam membangun persefsi antar komunitas maka yang akan terjadi adalah perpecahan dan perbedaan serta akan memudarkan nilai-nilai kebangsaan dan akan berdampak pada hilangnya karakter bangsa.

Kegagalan pendidikan dalam membangun karakter bangsa disebabkan banyak faktor. Karena ada banyak komponen dalam pendidikan seperti pendidik, peserta didik, kurikulum, sarana prasarana maupun komitmen pemerintah untuk memajukan pendidikan nasional. Keseriusan pemerintah harus dibuktikan dengan aksi nyata yaitu dengan memberikan angaran pendidikan yang memadai, meningkatkan kesejateraan pendidik serta memberikan pengelolaan pendidikan kepada yang ahli di bidangnya dalam artian pendidikan jangan dijadikan sebagai komuditas kepentingan politik. Selain dari itu pendidik (guru) juga harus memiliki komitmen yang tinggi dalam membangun mentalitas dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia, pendidik harus sadar bahwa mereka memiliki peran yang sangat strategis dalam pembentukan dan pembangaunan generasi penerus bangsa.

Kondisi bangsa sudah sedemikian rapuh, masyarakat Indonesia seperti kehilangan jati diri sementara pendidikan belum mampu bahkan dianggap gagal dalam membangun karakter bangsa. Lalu adakah jalan lain selain pendidikan untuk membangun karakter bangsa?, penulis beranggapan hanya pendidikan-lah jalan tercepat yang dapat membangaun kembali karakter kebangsaan, hanya saja pendidikan yang telah berlangsung selama ini perlu ada peninjauan atas keberhasilan dan kekurannnganya. Penulis kira tidak semua out-put pendidikan selama ini semua tidak baik, hanya saja butuh pembenahan dan perbaikan pada sisi-sisi yang lemah, perlu ada reorientasi atas visi pendidikan nasional. Krisis karakter kebangsaan saat ini menjadi tanggungjawab sepenuhnya dunia pendidikan, mampukah pendidikan membangun karakter bangsa yang sedang rapuh?

Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan

Untuk menjawab fenomena itu, mengapa harus ke pendidikan? Dari banyak literatur ada bukti, perilaku masyarakat amat erat kaitannya dengan tingkat pendidikannya. Teori keterkaitan perilaku masyarakat dengan tingkat pendidikan menjadi tidak sepenuhnya berlaku. Yang bisa dijadikan instrumen untuk menjelaskannya tampaknya adalah peranan pendidikan dalam membangun karakter bangsa (character building). Sayang, sudah lebih dari setengah abad kita merdeka tampak sekali bahwa pembentukan karakter bangsa dalam arti yang sebenarnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Lebih jelas lagi selama 32 tahun Orde Baru mengendalikan negara dengan ciri yang sentralistik, pertumbuhan ekonomi dijadikan sebagai fokus pembangunan, perbedaan dijadikan barang tabu, kawalan “siaga” senjata dipakai sebagai legitimasi atas nama stabilitas untuk pembangunan. Pendidikan tidak diletakkan dalam konteks investasi strategis sehingga biaya pendidikan selalu dibuat minim, selalu di bawah 10 persen dari APBN. Konsekuensinya, dampak negatif pada lambatnya pengembangan nilai-nilai dalam membangun karakter bangsa.

Dalam kondisi ini, secara tidak sadar masyarakat tergiring menjadi “manusia robot”. Pada saat yang bersamaan muncul sifat serakah, keinginan jalan pintas dalam memecahkan persoalan hidup, kurang sensitif terhadap kelompok masyarakat lain yang sedang menderita, dan sebagainya. Semua itu karena terdorong kuat oleh dampak pembangunan terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang dipatok tinggi, yang pada gilirannya menuju ke arah budaya konsumerisme. Gap kaya-miskin menjadi sangat lebar. Ketidakpuasan timbul di mana-mana. Krisis ekonomi menjalar cepat pada krisis politik. Dari sisi sosilogi pembangunan, meminjam thesis Rostow yang menekankan pada pendekatan prasyarat pembangunan sehingga muncul lima tahap pembangunan itu, sangat jelas bila dipakai untuk memahami fenomena yang tidak berjalan sebagaimana mestinya itu. Jadi lengkap sudah. Dari kacamata ini, tidak terlalu keliru bila kerusuhan yang berujung pada gejala disintegrasi bangsa akhirnya bersumber dari lemahnya pendidikan dalam membentuk karakter bangsa.

Dalam konteks memahami fenomena itu, menarik apa yang disarankan Unesco bahwa pendidikan harus mengandung tiga unsur: (a) belajar untuk tahu (learn to know), (b) belajar untuk berbuat (learn to do) dan (c) belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah membentuk having, agar sumberdaya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih terarah being menuju pembentukan karakter bangsa. Kini, unsur itu menjadi amat penting. Pembangkitan rasa nasionalisme, yang bukan ke arah nasionalisme sempit; penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara; pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat, tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitivitas sosial dan lingkungan dan sebagainya, merupakan beberapa hal dari unsur pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama. Pendidikan dari unsur ketiga ini sudah semestinya dimulai sejak Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Penyesuaian dalam materi dan cara penyampaiannya tentu saja diperlukan.

Menurut Evert Hegan mentalitas yang menemukan, kreatif, dan menemukan sesuatu yang baru(innovation) akan dapat menjadikan peranan pendidikan dapat dan mampu membentuk mentalitas bangsa dalam pembangunan bangsa.

Apakah pendidikan sekarang ini belum memberikan unsur itu. Secara materi, yang tertuang dalam kurikulum, mungkin sudah. Namun dalam konteks proses pendidikan untuk membentuk karakter bangsa secara benar, tampaknya selama ini kurang atau bahkan tidak diperhatikan dengan saksama. Sebagai contoh pendidikan Pancasila yang diwujudkan dalam mata ajaran sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Penyampaian yang serba verbalitas, secara signifikan tidak akan pernah membentuk karakter bangsa. Berbagai persoalan yang ada, akhirnya cenderung dibenahi di perguruan tinggi. Mata kuliah seperti ilmu sosial dasar, etika akademik, agama dan Pancasila bahkan sampai dituangkan dalam kurikulum selama dua semester di banyak perguruan tinggi.

Pelurusan benang merah mulai pendidikan dasar sampai perguruan tinggi perlu segera dimulai. Tiga unsur pendidikan yang harus ada seperti disarankan Unesco, perlu dijabarkan dalam kurikulum mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pembenahan bukan berarti harus merombak kurikulum. Bisa dengan cara melakukan revitalisasi isi pelajaran dan metode pengajaran. Revitalisasi isi pelajaran dan metode pengajaran dalam implementasinya harus mencoba untuk memadukan antara teori dan aplikasi, teks dan konteks.

Implementasi kurikulum dalam pembelajaran selama ini berjalan dikotomi (terjadi pemisahan antara teori dan praksis/ apa yang diajarkan di institusi pendidikan kadang bertentangan dengan realita kehidupan) terjadinya diktomi ilmu dan pengetahuan inilah yang memunculkan berbagai problematika dalam pendidikan. Pendidikan yang hanya dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan yang bersifat formal dan mengabaikan idealisme yang mencerminkan proses-proses pemenuhan tugas-tugas kemanusian. menurut hemat penulis menyebabkan pendidikan kita kehilangan ruh kebenaran.

Sikap Yang Harus Dilakukan

Diperlukan bayangan ke depan mengenai bentuk masyarakat seperti apa yang ingin kita capai dalam pembangunan kita. Namun hal itu masih belum di konsepsikan oleh bangsa kita. Berbagai suku-bangsa, aliran, dan berbagai golongan dalam negara kita yang demikian banyaknya itu mungkin sudah mempunyai konsepsi masing-masing yang berlainan. Tetapi, suatu konsepsi konkret untuk bersama belum ada. Jelaslah bahwa model masyarakat di negara-negara maju tak dapat kita contoh begitu saja. Karena memang sukar mengejar suatu hal yang sudah terlampau jauh ke depan. Bahkan model masyarakat.

Sifat mentalitas lain yang sebenarnya juga mempunyai aspek positif guna pembangunan adalah adanya nilai budaya yang memuji. Kaum muda memaang benar- benar sumber bagi pengembangan masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu pembinaan dan perhatian khusus harus diberikan bagi kebutuhan dan perkembangan potensi mereka dalam peranan pendidikan dalam pembentukan mentalitas pembangunan bangsa.

Orang yang pertumbuhannya mengarah pada kematangan mental dialah orang yang menjadi sosok pribadi berpengaruh pada orang lain. Sehingga jika suatu pribadi tiap- tiap individu telah memiliki mentalitasyang bagus maka akan menimbulkan mentalitas pembangunan bangsa yang pembangunannya kearah karakter yang lebih baik.

MAKALAH

PERANAN PENDIDIKAN DALAM MEMBENTUK MENTALITAS PEMBANGUNAN BANGSA

Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar

Dosen pembimbing :

DR. SILFIA HANANI, M.Si

Oleh :

Tuti oktaviani : 2110.052

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SJECH M.DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI

2010/2011

Kata pengantar

Alhamdulillahirabbil’alamin atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga dengan izin-Nya penulis dapt menyelesaikan makalh ini tepat waktu. Shalawat beserta salam kami sampaikan buat Nabi Muhammad sebagai suri tauladan bagi seluruh umat manusia.

Makalah ini dibuat untuk memnuhi tugas pada mata kuliah “Ilmu Sosial Budaya Dasar”. Didalam makalah ini penulis membahas tentang “Peranan Pendidikan Dalam Membentuk Mentalitas Bangsa”.

Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.untuk itu dalam kesempatan ini penulis sangat mengharapakan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan ini.

Kemudian kami mengucapakan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan pemaparan tentang mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar ini.semoga makalah ini dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Bukitinggi , 20 Desember 2010

Penulis

DAFTAR PUSTAKA

Ihsan, Fuad 2008. Dasar-Dasar kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta

Munir, A.Warson. 1984. Kamus Almunir, Yogyakarta: Unit Pengadaan Balai Pustaka Buku- Buku Ilmiah Keagamaan

Salam, Burhanuddin.1997. Pengantar Pedagogik; Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, Jakarta: Rineka Cipta,

Dewantara, Ki Hajar, Pendidikan, Yogyakarta : Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa

Arifin, M., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama Dilingkungan Sekolah Dan Agama

Alwi, Hasan 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka

http:// blog.uny.ac.id/2010/07/27

(Diskusi FORMOPI 17/3/2000)

Shaleh, Abdurrahman,2005, Pendidikan Agama Dan Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Ilmi, Darul.2009.Dasar-Dasar Pendidikan

Doni, Koesoema A.2007. pendidikan karakter. Jakarta:PT Grafindo

Koentjaraningrat.2002. kebudayaan mentalitas dan pembangunan. Jakarta : PT Gramedia Utama

Kompas, Pembentukan Karakter Bangsa Hendaknya Berangkat Dari Budaya Lokal, Senin 24 Januari 2000

Akhmad Sudrajat.wordpress.com

Wangsanegara, Soewaryo.1986. Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Karunika

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dewasa ini kita telah lihat dan saksikan sendiri bahwa pendidikan mempunyai peran yang sangat penting. Karena pendidikan telah diatur dalam undang- undang negara terutama negara Indonesia seperti pengertian pendidikan yang dimaksud dalam Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat bangsa dan negara.”

Peranan pendidikan dalam membentuk mentalitas pembangunan bangsa yaity pendidikan dapat membangun mentalitas yang menemukan, kreatif, dan menemukan sesuatu yang baru.

2. Saran

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk ini penulis mengharapkan masukan dan kritikan yang gunanya untuk membangun dan menuju kesempurnaan penulisan makalah i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................

B. Batasan Masalah......................................................................................

C. Tujan Penulisan........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian pendidikan .............................................................................

B. Pengertian mentalitas................................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................

B. Saran........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA



[1] Fuad Ihsan, Dasar-Dasar kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 1.

[2] A.Warson Munir, Kamus Almunir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Balai Pustaka Buku- Buku Ilmiah Keagamaan, 1984), cet ke-1, hlm. 504.

[3] Burhanuddin Salam, Pengantar Pedagogik; Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), cet ke-1, hlm. 3-4

[4] Ki Hajar Dewantara, Pendidikan, (Yogyakarta : Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa), hlm. 1.

[5] M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama Dilingkungan Sekolah Dan Agama ,t.p.,t.t.,op.cit. hlm. 16.

[6] Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 733

[7] http:// blog.uny.ac.id/2010/07/27

[8](Diskusi FORMOPI 17/3/2000)